Senin, 01 Oktober 2012

harapanku (cerita pendek)


        HARAPANKU
OLEH: Syifa Shara Salsabila
                    
                     Namaku Syafa, aku siswa SMP yang masih sangat membutuhkan perhatian orang tua. Bagiku, hidupku di dunia saat ini adalah hal yang paling tidak kuinginkan . hidup kaya rumah mewah, mobil tiga? Semua itu sama sekali bukan yang kuinginkan saat ini.
                     Pagi ini, aku sudah siap dengan seragam putih biruku. Mama pun terlihat cantik dengan seragam merahnya. Sedangkan ayah?Dengan gagah memakai jas putih yang selalu ada pada tubuhnya.
                     “Kami prergi dulu ya nak! Kami menyayangimu!...” Ujar ayah sambil mencium keningku. Selalu itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Mereka tidak pernah memikirkan bagaimana aku sangat merindukannya. Berangkat pukul 6 pagi, pulang pukul 11 malam. Kapan aku bisa memeluk dan mencium mereka? Sengaja kuteteskan air mata agar mama dan ayah melihatnya.
                     “Syafa?” Mama yang hendak meninggalkanku tiba-tiba memanggil namaku.
                     “Ada apa ma?” Tanyaku dengan harapan yang begitu besar.
                     “Ini untukmu. Boleh dihabiskan, tapi jangan lupa ditabung sebagian ya?” Ujarnya sambil memberikan 4 lembar uang seratus ribu. Untuk apa? Ini sangat tidak kubutuhkan. Aku hanya butuh kasih sayang penuhmu. Aku hanya tidak ingin kau lupakan! Kalau uang? Masi banyak di dompetku. Masih banyak uang berterbangan di kamarku. Aku benci kalian! Tapi, aku yakin dan percaya bahwa Allah akan membantuk jika aku lebih sabar lagi.
                     Di sekolah, Bu Fani membagikaan hasil ulangan Bahasa Mandarin minggu lalu. Aku dan temanp-teman berharap mendapatkan nilai yang pastinya dapat dibanggakan. Kelas terasa sangat sunyi dan tegagang saat itu, tiba-tiba …
                     “Maya!” Bu Fani memanggil salah satu tean dekatku. Maya Salsabila namanya. Ia pribadi yang baik dan hidupnya sederhana. Kedua orangtuanya sangat menyayanginya. Tetapi sayang, saat ini keduanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas 2 bulan yang lalu. Dan saat ini Maya harus menghidupi ketiga adik perempuannya dengan keadaan ekonomi yang tidak banyak.
“”Maya? Kau di panggil Bu Fani!” ujarku pada Maya yang sibuk denga kertas lipat warna-warninya itu. Yang pulang sekolah akan ia jual di depan sekolah.
                     “Oh iya, terimakasih ya Fa! Maaf aku sibuk bermain kertas. Hiihihi J” Jawabnya manis. Maya segera maju menghampiri Bu Fani yang sedari tadi menunggunya.
                     “Selamat Maya! Nilaimu cukup membuatku bangga! Pertahankan ya nak!” Bu Fani memberikan kertas ulangan yang tertuliskan angka 90 diatasnya kepada Maya. Maya tersenyum melihat nilai tersebut. Ia pun berlari ke arahkudan langsung memelukku erat.
                     “Syafa aku bisa.. Aku berhasil! Orangtuaku pasti senang Jmelihat nilaiku. Terimakasih ya Allah.” Senyum maya membuatku iri. Hidupnya yang di penuhi masalah tidak membuatnya patah semangat. Ia selalu yakin bahwa di balik masalah ini pasti ada rahasia indah tuhan yang belum terlihat.
                     “Selamat ya May! Aku bangga padamu!” ujarku.
                     Setelah tiga temanku dipanggil, saatnya aku yang menerima hasil ulanganku. “Bismillah!” gumamku.
                     “Syafa! Selamat kamu yang mendapat nilai terbaik di kelas. Nilaimu sempurna nak!” Ujar Bu Fani yang tersenyum lebar padaku. Ya Tuhan, apakah ini kenyataan? Apa aku benar-benar mengalahkan Maya? “Alhamdulillah..!” aqkupun berlari kebangku. Maya yang mengetahui hal tersebut langsung berkata “Hebat!” sambil mengacungkan ibu jarinya.
                     Sepulang sekolah, mama dan ayah tetap saja belum pulang. Tidak heran, akju selalu menunggunya di ruang tivi. Setiap ada ketukan pintu berharap sosok mama atau ayah pulang dan menyapaku. Dan kali ini harapanku untuk itu lebih besar daripada hari-hari biasanya. Aku ingin menunjukkan pandainya aku berbahasa Mandarin sekarang. Aku ingin mama dan ayah bangga padaku dan menciumku atau mungkin memelukku. Aku mohon semoga harapanku didengar oleh-Nya.
                     Sudah pukul delapan malam, mataku sudah ingin istirahat. Lelah sekali, kemana sih mereka? Kenapa lama sekali pulangnya?
                     “Non, ayo tidur! Jangan disini terus... Ayo masuk kamar!” Bik Imah menyuruhku tidur untuk yang kelima kalinya. Aku hanya tersenyum dan berkata tidak. Aku yakin pasti bisa menunggu mama dan ayah sampai jam sebelas. Aku tetap duduk diatas sofa dan memegang kertas hasil ulanganku yang berhasil menjadi rekor terbaik di kelas. Semoga mala mini aku berhasil mendapat ciuman mereka yang mungkin pertama kalinya. Dari SD aku selalu ingin menjadi yang terbaik dikelas, apapun itu. Aku ingin mendapat nilai sempurna di setiap pelajaran. Keinginan itu muncul karena betapa besar keinginanku untuk mendapat pujian dan pelukan mereka. Berkali-kali mencoba tetapi selalu gagal. Karena Maya selalu menjadi yang terbaik di kelas. Tapi kali ini aku bangga mengalahkannya yang memang sedikit lemah di pelajaran Bahasa Mandarin.
                     Jam dinding di ruang tamuku cukup besar, bola mataku tak pernah lepas menatap gerakan jarum jam. Dan,…
                     “Sudah jam sebelas lewat 15 menit!” akupun segera bangkit dari dudukku dan keluar rumah. Berharap mendengar derum mesin mobil mama atau ayah pulang. Aku duduk didepan pintu sambil memandangi awan gelap yang tampak tak berdaya jika tanpa bulan dan bintang di sisinya. Seperti halnya aku yang sangat membutuhkan kasih sayang mama dan ayah dalam hidupku. Tiba-tiba air mataku mengalir di kedua pipiku untuk yang ke sekian kalinya. Aku mulai bosan dengan malam yang sunyi dan dingin ini. Aku benci melihat diriku yang tampak bodoh di depan pintu sambil menangis.
                     “Ini sudah pukul dua bela malam! Lebih  baik aku tidur saja! Aku capek!” gumamku sebal. “Percums! Walaupun mereka mengetahui nilaiku pasti  mereka nggak bakal cium dan peluk aku! Aku benci mereka! Aku benci pada semua yang terjadi padaku! Semua rasanya tidak adil bagiku. Percuma aku hidup tetapi tidak pernah merasakan kasih sayang mereka. Lebih baik aku mati. Hiks,, hiks,,” ujarku yang begitu amat sangat menharap kepulangan mama dan ayah.
                     “Syafa? Kenapa belum tidur?” Tiba-tiba ada mama yang memegang bahuku. Kutatap matanya yang sebenarnya penuh cinta> Berharap ia  memlukku karna merindukanku. Tetapi? Apa daya? Pelukan itu tidak datang juga.
                     “Aku capek ma! Aku mau tidur sekarang saja!” jawabku datar dan hendak pergi meninggalkannya. Mama yang tampak bingung menarik tanganku dan bertanya,
                     “Lho? Kenapa dari tadi di luar? Kenapa tidurnya baru jam segini? Kamu ada masalah? Cerita sama mama nak!”
                     “Apa mama masi ingin tau apa masalahku? Apa mama masih menganggapku anakmu?” ujarku sambil menangis. Tak kuasa hatiku melihat wajah mama yang cantik sekali. Aku benar-benar seperti melihat seorang bidadari yang jatuh dari surge. “Aku mencintainya ya Allah, aku sangat mencintai wanita ini. Apakah aku boleh memeluknya?” pikirku.
                     “Nak? Kenapa berkata seperti itu? Tentu saja mama mau tau semua masalahmu. Kamu anak mama satu-satunya. Mama sayang sama kamu nak!” jawab mama yang juga meneteskan air matanya. Tanpa basa basi akupun memeluknya. Kulihat ayah yang juga baru datang dengan wajahnya yang lelah bercampur bingung. Ini waktunya aku katakana kepada mereka.
                     “Ayah, mama .. Kumohon dengarkan aku sebentar!” Akupun melanjutkan kata-kataku. “Lihat lah hasil ulangan Bahasa Mandarinku yah, ma! Aku mendapat nilai terbaik di kelas. Bagaimana? Apa kalian bangga padaku?” tanyaku lagi.
                     “Kami pasti bangga nak!” jawab mama. “Kami akan memberimu hadiah!” lanjutnya.
                     “Kamu mau apa kami akan beri! Monil baru? Atau laptop keluaran terbaru?  Ayah siap belikan buat kamu!” tambah ayah. Aku benci mendengar jawaban mereka yang tidak asing lagi di kupingku.
                     “Kalian tetap saja begitu! Aku tidak membutuhkan semua itu yah ma! Syafa mau kasih sayang orangtua yang sebenarnya. Bertahun-tahun aku membutuhkan hal itu. Hanya itu yang aku inginkan, hanya itu yang aku cita-citakan. Semoga kalian mengerti maksudku! Singkat saja sekian! Aku capek! Aku tidur dulu!” akupun menangis dan berlari ke kamar.
                     Keesokan harinya. Aku bangun dari tidur lelapku. Seseorang berada tepat didepanku.
                     “Syafa?” Kulihat tampannya ia memakai kaus hijaunya.
                     “Ayah? Ini ayah? Dimana jas putihmu?” Akupun memeluknya. Baru pertama kali aku bangun pagi dan dibangunkan oleh ayahku sendiri. Ayah mengajakku ke meja makan. Disana ada mama yang sudah siap dan duduk rapi. Kulihat meja makan penuh dengan berbagai macam makanan.
                     “Ini mama masakkan khusus buat Syafa!” ujar mama sambil tersenyum. “Dan hari ini sampai 2 minggu selanjutnya kami stay dirumah. Kami mau selalu ada buat Syafa.”
                     “Benar kata mama. Kita mau ajak Syafa jalan-jalan kemana saja yang Syafa mau. Dan satu lagi kamu boleh ajak Maya dan adik-adiknya juga.” Lanjut ayah. Ayah menciumku dan memelukku. Begitu juga dengan mama yang menyuapi makanku. Mereka bilang ini hadiah bukan hanya karna aku menjadi yang terbaik dikelas. Ini hadiah karna aku uda buat mama sama ayah bisa lebih mengertiku. Aku bahagia karna Allah mendengar do’aku malam itu. Aku harap cinta sempurna mereka kepadaku bersifat kekal dan abadi selamanya, sampai aku menutup mata. J